Short Story
The Stranger
by: Hana Septi Ariani
Kayla masih ingat hari itu, dimana ia bertemu seorang
lelaki misterius yang terlihat sedang asyik menggambar di Taman Kota.
Kayla hanya bisa terdiam di bangku taman, melanjutkan
buku bacaannya. Tidak berani melakukan apapun. Hanya dengan melihat punggung lelaki
ber-sweater itu, Ia sudah merasa cukup. Entah Ia mendapat rasa nyaman darimana.
Rasa yang telah lama Ia lupakan. Ia kembali sibuk dengan bukunya.
***
Entah kenapa aku senang dengan tugas kali ini. Sketsa
Taman Kota. Walaupun menggambar dedaunan memang diperlukan kesabaran ekstra.
Hoaaaaammm… cuaca seperti ini membuatku mengantuk.. mungkin saatnya melakukan
sedikit peregangan otot..
Aku melakukan sedikit pemanasan. Pada saat aku menoleh
kebelakang, aku melihat seorang gadis manis yang terlihat sangat asyik dengan
buku bacaannya. Seolah ia tidak perduli lagi dengan orang disekitarnya.
Termasuk aku.
Hei kamu, bisakah kau menoleh sedikit kemari?
Seandainya aku punya sedikit keberanian untuk
menyapanya. Tapi, ah, aku harus fokus dulu dengan tugasku. Menyapanya akan jadi
pr-ku. Mungkin pada pertemuan berikutnya? Yah, jika ada..
***
Kayla jadi sering pergi ke Taman tersebut. Sekadar
bersepeda, atau berjalan santai. Hanya untuk bertemu dengan lelaki misterius.
Meski tiada perkembangan yang berarti diantara mereka.
Kayla bercermin. Ia melihat bayangan seorang pengagum
rahasia. Entah sampai kapan. Entah apa yang harus ia lakukan untuk membuat
lelaki itu menoleh kearahnya.
***
Aku bingung dengan diriku sendiri. Bagaimana aku
merasakannya kembali? Rasa yang telah lama tak kurasakan ini. Dan kenapa harus
gadis itu.. yang bahkan tak kukenal sedikitpun?
Alde bercermin. Ia melihat bayangan seorang pengagum
rahasia. Entah sampai kapan. Entah apa yang harus ia lakukan untuk membuat gadis
itu menoleh kearahnya.
***
Pada suatu sore yang cerah, Kayla memutuskan
mengendarai sepeda putihnya ke Taman Kota. Ia mengenakan blus biru muda
terbaiknya dengan rambut ia ikat kuda. Kayla
berharap hari ini si lelaki misterius akan menoleh kearahnya, melihat penampilan
terbaiknya.
Sayang sekali, baru beberapa blok dari rumah, rantai
sepedanya putus. Kayla pulang dengan gontai. Gagal sudah pertemuan sore ini.
Sedih rasanya.
***
Aku tidak melihatnya sore ini. Kenapa aku merasa
kehilangan? Apa yang harus kulakukan? Sketsaku sudah selesai. Sebenarnya
alasanku datang sore ini hanya untuk melihatnya. Namun, aku bisa apa? Semoga ia
baik-baik saja. Tidak sakit, misalnya. Ah, sedih.
***
Semenjak sore itu, Kayla tidak pernah melihat lelaki
itu. Mungkin gambarnya sudah selesai… Jujur saja Kayla merasa kehilangan. Ia
pun menghentikan kebiasaannya ke Taman setiap sore. Kayla yakin, jika dia
adalah orang yang tepat untuknya pasti mereka akan bertemu lagi. Isn’t weird to
think that you could’ve already met the person you’re gonna marry?! Jujur saja
itu yang Kayla rasakan. Konyol ya.. Rutuk Kayla dalam hati.
***
Minggu sore, akan diadakan pameran karya mahasiswa
arsitektur. Lokasinya di Taman Kota. Sketsa yang kubuat menjadi salah satu
karya unggulan. Ah, aku sungguh bersyukur untuk hal ini. Namun jujur saja, aku
masih penasaran dengan gadis itu. Isn’t weird to think that you could’ve
already met the person you’re gonna marry?! Jujur saja itu yang kurasakan. Ah,
silly me. Nasib.. naksir orang yang tak dikenal..
***
Minggu sore, Kayla menyapu halaman rumahnya. Musim
daun meranggas, sungguh merepotkan. Tak sengaja mata Kayla tertuju pada pamflet
yang sudah masuk dalam serokan sampahnya. Ia membuka dan mengamati isi pamflet
itu.
“The Epic Sketch for Our Environment” judulnya. Ia
merasa harus datang. Entah apa yang menggerakannya.
***
Ah sial!! Kenapa harus kebablasan sih? Jam berapa
sekaraang!!! Aku telat pada hari karyaku dipamerkan. Alde bodoh, kenapa bisa
peka dengan dering weker sih?!
***
Kayla sudah datang. Alun-alun sore itu begitu berbeda.
Telah di desain sedemikian rupa. Gambar-gambar telah ditata dengan sedemikian
rupa. Mata Kayla tertuju pada satu karya. Gambar taman kota yang mungkin
mendekati sempurna. Sapuan warna langitnya begitu indah. Kayla merasa tak asing
dengan gambar itu. Pelukisnya memakai inisial A. Apakah ini dia? Laki-laki
misterius itu? Tapi dia tidak ada disini….
Lamunan Kayla terhenti dengan rintik air hujan yang
tiba-tiba turun. Seakan tahu isi hatinya. Kayla berlari ke kedai coklat panas
yang berada di pinggir taman, berniat untuk menghangatkan tubuh, juga hatinya.
Mungkin.
***
Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin itu hal yang
tepat untuk menggambarkan keadaanku sekarang. Sudah telat, diguyur hujan.
Bahkan pameran sudah diamankan. Takut rusak kena hujan yang semakin lama
semakin deras. Aku memutuskan untuk meneduh.
“Hot Chocolate panas ukuran jumbo” aku mendengar
pesananku. Spontan aku mengangkat tangan. Diseberang sana kulihat seseorang
mengangkat tangannya juga. Aku segera memakai kacamata.
***
Kayla terpaku. Itu dia, lelaki misterius itu.. aku
tidak salah, itu dia. Tepat di seberangku.
“Lho, ada dua
yang pesan ya? Maaf saya baru buat satu. Ini untuk siapa duluan ya?” Kayla
masih belum percaya dengan pengelihatannya.
“ Untuk mbak itu aja mas” katanya.
***
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya
bisa terdiam, menunggu pesanan yang terasa amat lama. Aku masih punya pr yang
belum kukerjakan sejak hari pertama kumelihatnya. Aku melepas kacamata, dan
berharap yang kulihat tadi… bukan dia. Aku merasa ciut seketika. Oh, c’mon man!
***
“Mm..maaf.. walau sepele, terima kasih buat yang tadi”
Kayla mengumpulkan segala keberaniannya, sesaat sebelum pulang. Ia merasa
inilah kesempatan terakhirnya. Lawan bicaranya tertegun sejenak.
“Ah iya, sama-sama. Ehm.. kamu baru dari pameran? Saya
salah satu mahasiswa yang kebetulan punya karya disana. Ini kartu nama saya,
siapa tahu kamu akan membutuhkan pertolongan saya, eh, maksudnya…. Kalau begitu
saya pergi dulu ya.. semoga kita ketemu lagi, tadi siapa namanya?”
“Ka..Kayla” Kayla bingung. Ia merasa belum mengenalkan
namanya sama sekali. Saat gugup, pria ini terlihat amat lucu.
“Bye, Kay!” pria itu melangkah menjauh.
Kayla melihat kartu nama ditangannya. Aldebaran. A.
Ya, mungkin itu memang dia. Kayla tersenyum geli saat melihat ada kacamata tertinggal
di meja.
***
Bodoh, kenapa bicaraku seperti keran bocor saja? Ah
tidak… Eh, mana kacamataku? Alde merasa harus kembali. Fiuh.. kacamataku masih
disana. Namun ada notes tambahan:
See you again, Mr.A!
Oh Kayla, is that you?!
Komentar
Posting Komentar